DestinasiaNews - Belakangan ini para pelaku tani di Indonesia seperti kehilangan naluri bercocok tanam karena berbagai alas an, terutama kurangnya edukasi dan inovasi. Tidak heran apa bila sekarang ini mengajak kaum santri untuk ambil peran di pertanian, karena pesantren mempunyai akar kuat dalam pembangunan bangsa. Demikian yang pernah terungkap Kementrian Pertanian Republik Indonesia bidang Pengembangan SDM Pertanian
Ditjen Pendidikan Islam Kemenag pun sudah menjalin kesepakatan dengan Badan Ketahanan Pangan Kementan dan Insan Tani dan Nelayan Indonesia ( Intani) dalam mengembangkan pertanian di pesantren. Sinergi ini langsung di bawah kendali Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin dengan mengangkat tema "Akselarasi Ketahanan Pangan Berbasis Pesantren".
Namun, apa boleh buat, tidak semua ponpes memiliki lahan tani luas , tapi ingin pula mengembangkan dan mengajarkan keterampilan tani kepada para santriwan dan santriwatinya. Seperti Apa yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al I'anah Rancaherang di Jalan Cibogo Bawah No. 100 ,Rt 02 Rw 04 Blok Balimbing, Kota Bandung. Karena ingin juga membekali pengetahuan dan pengalaman bercocok tanam kepada para santrinya, Pimpinan ponpes tersebutmengajak para santrinya untuk bertani dengan merekayasa lahan sempit yang dimilikinya.
Diajaknyalah sekira 45 santri untuk mengembangkan Urban Farming di ponpes tersebut. Lahan dan bahan untuk bercocok tanam yang ada dibikin seoptoimal mungkin . Media tanam pun diwadahi dengan pot dari barang-barang bekas, sehingga mendukung pula konsep daur ulang (recycle) sampah-sampah anorganik. Sementara untuk memperluas lahan atap atau loteng kobong para santri itu pun dimanfaatkan untuk menata pot atau polybag berbagai tanaman.
Ada beberapa jenis pohon yang ditanam di loteng itu seperti sawi-sawian, selada, cabe rawit hingga jagung. Di jeda waktu para santri mereka bergiliran merawatnya. Pupuk yang dibutuhkan diperoleh dari olahan pupuk cair organik yang juga buatan sendiri. Pasca panen urban farming ini kini sudah bisa menghasilkan untuk membantu kebutuhan nutrisi para santri di ponpes tersebut, selebihnya ada juga yang dijual di lingkungan sekitar.
“Urban farming yang dikembangkan di sini kami sebut Ténjo,” tutur Ahmad Luqoni, pimpinan ponpes tersebut. Ténjo dalam bahasa Sunda berarti lihat dan istilah ini berupa akronim juga dari “loténg héjo,” atau loteng yang menghijau oleh pepohonan.
Hingga kini ponpes Al I'anah Rancaherangmasih mengembangkan Ténjo dengan harapan bisa semakin bermanfaat bagi baik untuk para santri maupun warga sekitar dalam rangka membangun kemandirian pangan di Kota Bandung. dtn/ar.-